Hari
ini, untuk yang ke-68 kalinya Indonesia ku mengibarkan bendera kemerdekaan di
tiang tertinggi.
Berduyun-duyun
ku lihat adik-adik memakai topi, berseragam putih-putih, bersepatu hitam,
mereka menapaki jalan setapak demi setapak dengan satu tujuan. Ya, tentu saja
ke stadion Lawang untuk melaksanakan upacara 17 Agustus.
Sekilas
pikiranku melayang entah dua atau tiga tahun yang lalu. Aku berdiri disudut
lapangan, berjajar rapi bersama teman-teman. Menatap gagahnya Sang Saka
teriring ke ujung tiang dengan lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya.
Khidmat slalu ku lalui upacara ini sambil membayangkan betapa ricuhnya dulu
saat Merah-Putih ini belum berkibar. Dan slalu saja mata ini basah saat mulut
berucap dan telinga mendengar lagu Syukur melantun.
“aduh
lapo se upacara barang, panas ilohh”
“iyo
jane enak ndek omah yo, haha”
Anganku
seakan terhempas hilang oleh kalimat itu. Hati ini serasa dongkol.
Hei,
aku saja ingin sekali menjadi salah satu dari mereka yang berjajar disana.
Aku
saja ingin sekali melantunkan lagu kebangsaan disana.
Ingin
sekali memasang Sang Saka ditiang itu.
Hei,
kamu gak ngerti betapa panasnya mereka terdahulu ingin mengibarkan Sang Saka.
Kamu
gak ngerti betapa gak enaknya hidup dibawah kaki Negara lain.
Betapa
banyak raga tanpa nyawa saat NKRI HARGA MATI.!!
Ayolah
teman, mari kita berbondong mengibarkan Sang Saka.
Ayolah
kawan, biarkan Berani dan Suci bebas diatas sana.
Ayolah
sobat, biarkan rasa cinta ini bukan hanya untuk sesama tapi juga untuk Tanah
Air ini. Biarkan darahnya mengalir pekat ke setiap mili tubuh ini. Biarkan rasa
NASIONALIS, bukan idealis atau rasional, itu tumbuh subur dalam relung jiwa
hingga mengurat cekat.
Tapi..
Ah
sudahlah..
Mereka
yang sudah diatas saja hanya diam berpangku tangan menikmati harumnya kertas
merah itu.
0 comments:
Post a Comment