08 October 2013

Hari ini, untuk yang ke-68 kalinya Indonesia ku mengibarkan bendera kemerdekaan di tiang tertinggi.
Merah-nya dengan berani, Putih-nya suci.
Berduyun-duyun ku lihat adik-adik memakai topi, berseragam putih-putih, bersepatu hitam, mereka menapaki jalan setapak demi setapak dengan satu tujuan. Ya, tentu saja ke stadion Lawang untuk melaksanakan upacara 17 Agustus.

Sekilas pikiranku melayang entah dua atau tiga tahun yang lalu. Aku berdiri disudut lapangan, berjajar rapi bersama teman-teman. Menatap gagahnya Sang Saka teriring ke ujung tiang dengan lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya. Khidmat slalu ku lalui upacara ini sambil membayangkan betapa ricuhnya dulu saat Merah-Putih ini belum berkibar. Dan slalu saja mata ini basah saat mulut berucap dan telinga mendengar lagu Syukur melantun.

“aduh lapo se upacara barang, panas ilohh”
“iyo jane enak ndek omah yo, haha”

Anganku seakan terhempas hilang oleh kalimat itu. Hati ini serasa dongkol.
Hei, aku saja ingin sekali menjadi salah satu dari mereka yang berjajar disana.
Aku saja ingin sekali melantunkan lagu kebangsaan disana.
Ingin sekali memasang Sang Saka ditiang itu.

Hei, kamu gak ngerti betapa panasnya mereka terdahulu  ingin mengibarkan Sang Saka.
Kamu gak ngerti betapa gak enaknya hidup dibawah kaki Negara lain.
Betapa banyak raga tanpa nyawa saat NKRI HARGA MATI.!!

Ayolah teman, mari kita berbondong mengibarkan Sang Saka.
Ayolah kawan, biarkan Berani dan Suci bebas diatas sana.
Ayolah sobat, biarkan rasa cinta ini bukan hanya untuk sesama tapi juga untuk Tanah Air ini. Biarkan darahnya mengalir pekat ke setiap mili tubuh ini. Biarkan rasa NASIONALIS, bukan idealis atau rasional, itu tumbuh subur dalam relung jiwa hingga mengurat cekat.

Tapi..
Ah sudahlah..
Mereka yang sudah diatas saja hanya diam berpangku tangan menikmati harumnya kertas merah itu.

0 comments:

Post a Comment

Categories

Blog Archive

Instagram

Popular Posts

Viewers